top of page

Ozaques and Cherelle Angeline, Ekdisis, Mixed Media Video (Performance, Digital Illustration, and Color Pencil), 3.27 Minutes, 2021 

Upon a reflection on hope of art and culture, its role in our universal future, this video is created to contribute to discussion in Art & Dialog, a 
collaborative event during Covid-19 pandemic to explore natural ecology, technology, and creative process, held at Babaran Segaragunung in 27 November 2021.

Alam mengajarkanku kasih sayang yang tidak pernah henti. Alam sebagai ciptaan Tuhan melebihi keindahan semata. Hubungan manusia yang tidak pernah lepas dari kebutuhan untuk tetap waras dan damai di dalam dunianya membutuhkan alam untuk mencapai kebutuhan itu. 

Hidupku dari kecil tidak begitu jauh maupun dekat dengan alam. Selalu di ambang-ambang di mana aku masih dikelilingi taman kota tetapi juga seringkali menyendiri di kamar bermain gadget, seringkali juga bermain sepeda putar sekeliling taman. Jadi apakah hubungan alam semestinya secetek itu?

Jadi aku mulai merasakan di mana ada keinginan untuk lebih mengenal alam. Sampai pandemi tiba dan aku merasa aku ingin mencari alam. Aku mulai menanam tanaman -- merawatnya tanpa tahu banyak. Namun, beberapa bulan berlalu mulai berubah si tanaman-tanaman itu. Aku menemukan diriku selalu kembali ke setiap dari mereka -- beberapa yang kunamakan Eden, Snakie, Pinkie, Brella, dan nama-nama lainnya yang memancarkan karakteristik mereka. Aku merasa bertanggung jawab, terkoneksi, suatu perasaan memiliki dengan mereka. Mungkin karena ada keinginan dalam diriku untuk melihat tanaman-tanaman ini tumbuh sehat? Setiap kali ada yang mati atau mulai membusuk, aku menyalahkan diri. Sudahkah aku memberikan apa yang seharusnya diberikan? Apa aku tidak tahu cara menanam? Atau semata-mata keegoisanku yang menginginkan rumah terlihat indah. 

Awal mula pandemi, aku sempat merefleksikan apa tujuan hidupku? Aku sempat terlalu banyak bekerja, lelah, tidak dapat berkomunikasi tentang perasaan sendiri. Lalu, setelah aku lebih meresapkan keberadaan mental-stateku, aku baru sadar atas betapa berharganya nafasku (yang suka terengah-engah karena kesibukan dan kecemasan). Aku sadar ketika duduk ditengah-tengah tanamanku ini, aku menyayangi diri sendiri, sudah pasti dengan otomatis aku mengasihi yang di luarku: keluarga, teman dan tentu alam ini. 

Kebun di rumah menjadi “safe haven” ku dimana aku sangat suka memandang kekosongan, memproses pikiran dan perasaanku yang sering hancur. Berantakan. Suatu ciptaan yang bertumbuh menjulang, berbuah, dan berkembang biak menjadi pengingat diri hidup terus berputar. Setelah itu, di BSG, ketika melakukan perjalanan berkenalan dengan alam lebih intim, aku merasa lebih dipersatukan dengan teman-teman. Berempati, merasakan menjadi suatu kebutuhan hidup. Aku yang merasa dipedulikan oleh orang yang baru ku kenal menjadi terharu. Aku melihat apa yang diberikan alam kepada manusia: rasa kesatuan, memiliki dan kepasrahan bersama untuk membuka hati yang perlu disirami.  

Berdiri di tengah alam, bergandengan tangan, menunjukkan kepadaku bahwa apa yang dirasakan orang lain juga aku rasakan. Kami manusia berbeda yang mempunyai hati nurani yang tidak berbeda. Rasa menyatu yang sempat hilang dengan diriku sendiri dan orang lain mulai kembali. In a way, alam memberikan aku suatu harapan yang pernah hilang. Alam yang mengingatkan aku dari apa: aku tanah, air, dan api. Apa yang memberikanku hidup, aku kembalikan. Hidupku penuh karena sesama dan teman tanamanku. 

Pengalamanku dengan alam memberikan pelajaran yang berharga bagiku untuk mengetahui kewajibanku di dunia ini yaitu menguasai diri, termasuk perasaanku, untuk kebaikan keseluruhan. Menguasai apa yang batin dan badan berikan sebagai signal yang menjadi penggerak pilihanku. Mengambil keputusan kecil atau besar, sendiri atau sepakat, dari keheningan batin. Berhenti sejenak untuk apa yang terpenting, kekeluargaan dan kesatuan komunitas, mulai dari dalam diri. 

 

Dalam karya ini, Cherelle merefleksikan kesatuan alam dan tubuh, fisik dan virtual lebur, yang statis dan yang hidup, yang tumbuh dan mati kembali dengan mendistorsikan bentuk-bentuk, tubuh tumbuhan dan manusia. Gerakan dan sentuhan berinteraksi dengan satu sama lain, berangkat dari ide pergantian siklus hidup, yaitu ekdisis dalam kehidupan ular yang menyimbolkan pertumbuhan kembali dalam diri manusia.

bottom of page